Senin, 22 Desember 2008

Menakjubkan!




SUNGGUH tak disangka. Sebuah ungkapan terdalam Q Smart terhadap Bapak dan Ibu Presiden bisa bertatap muka dari dekat, mencium tangan, hingga mendapat pelukan dari sang ibu. memang terkesan sederhana dan biasa, namun untuk bisa melakukan hal itu, kami harus menerjang masa dan menembus benteng pertahanan kepresidenan.

Kali pertama bersua dengan beliau adalah sesaat setelah melaksanakan buka puasa menjelang Isya. Saat itu beliau keluar aula untuk berwudlu. Padat sekali. Akan tetapi, entah mengapa jalanan terasa cukup longgar. Menyelinap di antara kerumunan, sampai akhirnya raga kami berada di depan beliau.

Tanpa pikir panjang, kami langsung memperkenalkan diri sambil memberikan MP (Majalah Pelajar-red), majalah nasional yang salah satu konstributornya adalah Q Smart.

Dari belakang, terdengar Bu Mia, ajudan Bu Ani Yudhoyono berkata, “Mereka pelajar dari SMA Al Muttaqin, Bu.”

Setelah mendengar ucapan Bu Mia, Ibu Ani tersenyum pada kami. Dan demi mendengarkan apa yang diungkap dan dikatakan kami, beliau memberhentikan jalannya. Lantas kami mencium tangannya dan beliau mengusap kepala. Kami pikir, memperkenalkan diri saja sudah cukup, merasa banyak paspampres yang menyuruh untuk menghentikan tindakan nekat kami.

Kami terdiam. Namun Bapak dan Ibu Presiden tidak juga beranjak melanjutkan perjalanan untuk berwudlu. Tiba-tiba, “Adik mau apa lagi? Atau sudah cukup?”

Sontak kami kaget. Begitu baiknya beliau. Di antara perasaan yang berkecamuk antara kaget, senang, dan bingung, kami ‘todong’ dengan pertanyaan. Memang, kerap kali kami ‘menodong’ narasumber, terutama para tokoh, dengan pertanyaan.

“Bapak, boleh minta pendapatnya tidak mengenai pendidikan yang baik dan bagus untuk diterapkan di Indonesia?” tanya Delia, salah seorang reporter Q Smart.

“Oh, Adik mau wawancara, ya? Nanti saja ya. Sekarang waktunya sudah mepet mau tarawih. Kalau memang sudah cukup, Bapak terima majalahnya. Sukses ya untuk kalian.”

“Iya , Pak. Tidak apa-apa. Terima kasih.”

Beliau berlalu bersama rengrengannya. Sayangnya, diskusi kami yang singkat itu tidak terekam dengan jelas karena fotografer kami ditarik-tarik oleh orang yang berada di belakangnya sehingga kualitas gambarnya pun buruk.

Suasana sepi kembali. Tiba-tiba, salah seorang Paspampres wanita mendatangi kami. “Adik, jangan kayak tadi lagi, ya. Kalau mau wawancara harus mengikuti prosedural terlebih dahulu. Adik harus punya janji sebelumnya.”

“Oh, begitu. Maafkan kami. Seandainya kami memberikan surat secara langsung kepada Pak Presiden bisa tidak? Mungkin pas sahur di Crown atau besok pagi di Ciawi.” tanya kami.

“Sebentar dulu, Dik. Lebih baik bicara dengan pimpinan kami.”

Sesaat Mbak itu pergi dan datang kembali dengan membawa seorang Bapak berbadan tegap dan tinggi besar.

“Adik yang tadi mau wawancara dengan Bapak, ya? Begini, jadwal presiden khan padat. Setiap detiknya itu sangat berharga. Untuk menyelipkan agenda baru seperti tadi itu bisa mengganggu jadwal-jadwal yang lain. Mohon pengertiannya, ya.”

Kami ungkapkan kembali mengenai surat yang ingin kami berikan kepada Bapak dan Ibu Presiden.

“Kalau itu, Adik bisa kirimkan ke alamat istana negara atau kirim sms saja ke 9949. Itu yang membalasnya Bapak langsung. Atau jika ingin langsung sampai ke tangan Bapak dan Ibu, Adik bisa titipkan ke ajudannya. Cari saja Pak Edi. Karena jika dikirimkan lewat pos akan disaring dulu oleh saya.”

“Terima kasih informasinya, Pak.” ujar kami.

***

Sebelum pertemuan kedua, kami sempat bertemu dengan Ibu Mia, ajudan Ibu Presiden. “Bu, kami ingin menyampaikan surat dari kami untuk Bapak dan Ibu. Seandainya diberikan langsung besok saat sahur di Crown atau di Ciawi bisa tidak?” tanya kami.

“Wah, Adik mau ikut juga ke Ciawi? Adik kan harus sekolah. Memangnya adik kelas berapa?” “Iya, kami kan jurnalis. Kelas XI dan kelas X.”

“Berarti kelas dua dan satu ya.”

“Iya. Terus, mengenai surat itu bisa langsung diberikan ke Bapak dan Ibu kan?”

“Oh, kalau itu Adik titipkan saja lewat saya. Nanti saya pasti langsung berikan ke bapak dan ibu kok.”

“Kalau begitu, besok kami titip ya. Terima kasih.”

Paspampres yang sedang berada di sekitar kami hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum.

***

Pertemuan keduas adalah yang paling bersejarah bagi kami. Kala itu terjadi selepas shalat tarawih berjamaah, ketika rombongan segera berangkat menuju Crown Hotel. Masyarakat secara serempak tanpa komando segera membentuk pagar dadakan dengan fasilitas badan mereka.

Kami berhasil menyelinap lewat sela kerumunan yang semakin padat. Awalnya kami berada di seberang mobil bernomor polisi Indonesia 1, namun satu persatu kami berlari mendekat dengan mobil yang terparkir di depan aula ini.

Ibu Presiden terlebih dahulu keluar dan masuk ke mobil. Saat itu Delia yang pertama kali berhasil menuju dekat mobil, langsung berdiri di dekat Pak Bupati dan Pak Gubernur. Saat itu sempat tegur sapa dengan beliau sambil menunggu kedatangan Pak Presiden. Setelah berjabat tangan untuk kedua kalinya, Delia berteriak, “Bapak, kami akan kirim surat untuk Bapak. Mohon balas ya...”

Sambil menyapa masyarakat yang lain, beliau sempatkan untuk berkata, “Iya. Ditunggu ya suratnya. Nanti dibalas.” Seraya tangannya memeragakan menulis.

Sedang dua orang lagi, Faridah dan Riksa berada di samping mobil dan berhadapan langsung dengan Ibu yang sudah duduk di dalam mobil. “Ibu...”, teriak Faridah dan Riksa melihat ajudannya melarang menemui Ibu. Ibu menoleh dan tersenyum.

Langsung saja Faridah menemui beliau dan mencium tangan. “Ibu kapan lagi ke Tasik?” tanya Faridah. Ibu tersenyum seraya bertanya, “Mana dua orang lagi?”

Tak diduga tak disangka, begitu kuatnya memori beliau mengingat kami. Dan yang semakin mengagetkan, beliau keluar dari mobil hanya untuk berfoto bersama kami. Sempat ajudannya melarang karena akan segera berangkat. Namun Ibu menjawab, “Sebentar saja, kok.”

Tiba-tiba Riksa datang. Kami mengabadikan moment tersebut. Beliau bertanya lagi, “Satu orang lagi mana?” Selang beberapa detik, Delia muncul dan langsung mengabadikan kembali saat-saat berharga itu.

Kami dipeluk, dirangkul, dan pipi kami dicium oleh beliau. Ibu berpesan, “Rajin belajar, ya. Jadi orang sukses.” Serentak kami mengamini.

Beberapa warga sempat ada yang mau mengikuti jejak kami. Namun, ajudannya melarang. Kami juga disuruh untuk agak menjauh karena Bapak segera masuk dan itu tandanya mobil segera berangkat.

Lambaian tangan kami mengiringi kepergian beliau. Ibu dan Bapak juga membalas lambaian tangan kami.

Setelah semua rombongan pergi, kami pun segera menuju kembali ke sekolah. Merencanakan untuk hari esok, siapkan surat, dan istirahat. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 lebih.

Namun selama perjalanan, ada satu hal yang agak menjanggal, mengapa Ibu rela keluar lagi dari mobil hanya untuk berjumpa dengan kami (?). Mungkinkah itu sebuah pertanda dan makna tersirat bahwa beliau menitipkan masa depan Indonesia kepada kami, mengingat masalah yang akan dihadapi ke depan akan jauh lebih dasyat dan lebih kompleks dibandingkan saat ini
Andaikan Aku Menjadi Guru
Antara Aku, Kau, dan Dia

Mimpi

Kalau boleh ku bermimpi

Mimpi tentang mati

Kalau boleh ku berangan

Angan tentang esok

Sejenak langkah

Dongengkan nikmat dunia

Sejengkal jemari

Nyatakan hari abadi

Tak ingin mati sendiri

Ingin syahid

Teriring do’a dan tangis

Sanak saudara dan para sahabat

Mimpi

Tak ingin bangun

Ingin tidur

Selamanya nikmat angan

Mimpi seorang anak ingusan, saat duduk dibangku Sekolah Dasar memang tak bisa diorbitkan. Cita-citaku selalu saja berubah tiap waktu. Sekarang ingin jadi dokter, besok jadi direktur, besoknya jadi perawat, dan selalu saja begitu tiap hari. Memang begitu aneh dan tak terbayangkan. Tapi itulah dunia anak. Penuh dengan mimpi dan imajinasi. Tak terenyahkan dari pikiran anak umur 6 tahun, pernah tergambarkan diri menjadi seorang guru, sosok pencerdas tunas-tunas bangsa, penumbuh bibit-bibit harapan bangsa. Dapat berdiri di depan, mempaparkan ilmu-ilmu pada muridnya.


Jika ku pikir ulang, penentu majunya suatu bangsa itu tergantung oleh para penyambung pengetahuan, para penemu, dan para penggagas. Yakni GURU. Redup seklai dunia ku tanpa sosok Guru, penuh dengan kejahiliyahan. Tak tahu siapalah Guru pertama di jagad raya ini! Tapi kau yakin, orang itu sangat cerdas, bijaksana, dan penuh cinta kasih pada murid-muridnya.

Menjadi anak yang berasal dari keluarga yang religius memang sedikit rumit. Dijejali dengan ilmu agama, plus harus menelan ilmu pendidikan duniawi sekaligus. Aku bersyukur mempunyai orang tua yang pengertian, memberikan hak-hak demokrasi kepada kita. Tak perlu melanggar aturan, yang penting tetap di lingkaran. Musti pergi ke tempat nan jauh dari rumah memang menyedihkan. Tasik … Itulah kata tepatnya untuk menggambarkan kota kelahiran pahlawan H.Z Mustofa ini.


Belajar ilmu agama yang salafi dan belajar ilmu duniawi di SMA AMQ tepatnya. Senang, sedih, lucu, aneh, bingung, gokil, cape, pokoknya nano-nano deh. Tapi, ketika nafasku tersengat, amal apa yang harus aku bawa? Ketika mataku tertutup untuk selamanya., cerita manis apa yang akan ku bawa?

Tak ingin apa-apa lagi! Aku hanya ingin mati syahid. Bagaimana? Aku kan mencoba berperilaku sesuai dengan yang kau contohkan pada ku Guru …


ANDAI aku jadi Guru, rasanya pasti cape dan pusing sekali. Merawat anak didiknya yang sangat merepotkan. Masalah demi masalah, terus saja menggurita. Meskipun bukan siapa-siapa tanpa ikatan darah, tapi engkau tetap saja bersedia mengajar kami. Meskipun katanya gaji guru tak seberapa. Tapi, reward Sang Khalik lah sasaranmu Guru. Aku tahu hal itu.


ANDAI aku jadi Guru, kepalaku pasti akan botak. Pusing dengan tumpukan tugas-tugas yang belum selesai. Bukan tugas pekerjaan mu, tapi tugas anak didik-didikmu. Engkau selalu mengesampingkan tugas pribadimu, untuk menyelesaikan tugas kami. Kami dengar hal itu Guru.


ANDAI aku jadi Guru, rasanya ingin sekali membuat ramuan ajaib yang membuat anak-anak didiknya cerdas. Kasian mereka, harus belajar keras untuk mendapatkan ijazah dan gelar dari Negara. Itukah yang kau pikirkan Guru? Tapi, inilah dunia anak. Penuh imajinasi. Tak mungkin rasanya dapat tercipta. Meskipun banyak para ilmuwan di jagad raya ini.


Terus saja, aku cibirkan kata-kata “Dunia Anak”. Padahal untuk sekarang saja, umurku lantas menginjak angka 16. Harus sebesar apalagi, hingga aku dapat berpikir dewasa.

Tapi terus saja aku mencoba merangkak, mentelaah hal-hal yang hak dan bathil, dan meraba diri, tubuhku satu persatu. Coba tanpamu Guru. Hidupku ini akan buta, tak tahu mana jurang, dan tak tahu mana taman surga.


Ilmu agama dan Ilmu duniawi kataku! Senang, mempunyai 2 guru sekaligus. Saat di pesantren, Pak Kiai lah guru ku. Saat di sekolah, Bapak dan Ibu lah Guruku. Tapi, setiap orang yang telah menambah kosakata ilmunya dalam otakku ini. Aku panggil dia sebagai Guru.


Aku ingin menjadi seorang ustadzah sekaligus dokter yang handal. Ustadzah? Dokter? Memang sudah aku kecamkan, bahwa Guru itu adalah orang memberikan kosa kata baru dalam otakku. Mau dia berasal darimana, aliran mana, jika dia benar. Maka, dialah Guruku. Benarkah?


ANDAI aku berpikir jadi Guru, akan aku raba tubuhku ini. Penuh cacat kah ? menjadi guru itu merupakan tugas mulia.


Ingat rasanya pada malam tanggal 23 November 2008 kemarin. Ku menangis bersama teman-teman ku, dan Guruku. Menangis bersama-sama di hadapan-Nya, bersifat legowo satu sama lain, dan saling mengisi penuh tabuh kasih sayang kita bersama. Kutatap mata Ibu Guru dalam-dalam, tutlusnya lah yang meluluhkan hatiku. Kutatap wajahnya yang penuh basah tangis, cintanya lah yang membuatku menangis pula . ku ingat kata-kata dan nasihatnya. Ibu Guru sangat menyayangi kami, bahjan Ibu meminta naaf bila ibu pernah berbuat dosa pada kami. Kami menangis kembali. Tak selayaknya Ibu berkata demikian. Kami lah yang selalu menyita kegembiraan mu Ibu Guru. Kami lah yang selalau mengganggu waktu mu Ibu. Kasih dan sayangnya lah yang menyihir ku. Tapi, Pak Kiai selalu menyengat ku secara bertubi-tubi. Menerapkan kedisiplinan total bagiku. Kekerasannya yang membuat ku kagum. Ilmu nya yang luas, yang membuatku ta’dim, dan gurauannya lah yang membuat ku menyapu wajah pasi ini.


Meski demikian, aku tahu begitu lah caramu mendidik anak-anak didiknya. Protes, bersifat kritis, dan mengeliat sering kau lakukan. Tapi, dosa! Ingat! Memdzalimi Guru itu dosa. Tak ingin ilmuku luntur gara-gara kualat. Tak ingin ku masuk jahannam, gara-gara menggores luka di hatimu Guru.


Bagaimana jika Guru tak ada. Oh, tak ada lagi embun penyejuk dahaga, sang penyinar hati, penerjemah kosa kata dunia dan akhirat. Tak mau! Naudzubillahi mindzalik. Meski mungkin aku selalu membuat mu sedih dan menangis. Tapi bukanlah itu maksudku Guru. Dunia anak kataku! Kami sulit sekali menerjemahkan kosakata dunia dan akhirat ini. Tegurlah kami Guru, jika kami mengendarai kapal ini dengan salah. Kami tak mau, perjalanan mengarungi samudera kehidupan ini berakhir seperti cerita Titanic


Meskipun tersa gombal inilah curahan hatiku. Hati anak-anak didikmu. Sayang padamu Guru. Maaf… maaf… maaf… tapi Andai AKU JADI SEORANG GURU. AKU INGIN MENJADI GURU SEPERTI GURU SEPERIMU PAK KIAI, DAN SEPERTIMU IBU DAN BAPAK GURU.




Diselesaikan, 23 November 2008

Pukul 12.20.44

Rumah Lina temanku

Ciamis, Jawa Barat


Terspesialkan untuk, Ummi Ati, Pak Kiai, seluruh Guru-guru AMQ, ustad-ustadzah, dan semua Guru di jagad raya. Serta teman-temanku sejak TK, SD, SMP, dan SMA, keluarga besar XI-EXACT II, dan semua orang yang masih durhaka pada Gurunya.



Uuhhhh,,, akuw suka bgd dewh ma nightmare!!!
kaga tao napa lho,,,padahal nonton film'y ja ru sekaleee..
tapi, figur ma bentuk nightmare yang lucu bikin akuw gereget ja!